Sunday, December 2, 2007

Siasat Manusia Atas Bumi....

Tahukah anda berapa limitasi beban yang sanggup ditanggung bumi? “ bumi sanggup menyediakan segala kebutuhan manusia, kecuali keserakahannya” (Mahatma Gandhi)

Manusia adalah tertuduh dari ambruknya kualitas bumi. Ia dinilai terlalu asyik memuaskan syahwatnya tanpa mempedulikan akibat pada bumi.Binatang dan manusia sebenarnya serupa: sama–sama hidup dilingkungan tertentu. Bedanya, binatang adalah “mahluk terikat pada lingkungan” manusia justru “mahluk bebas lingkungan”

Perbedaan keduanya ada pada struktur morfologi. Struktur morfologi binatang telah memastikannya hidup dilingkungan tertentu. Ikan dan kera, misalnya, struktur morfologinya memastikan mereka untuk hidup di air dan pohon. Sekali lingkungan yang ”dijadikan” untuknya rusak, ia terancam mati. Makanya, binatang lantas dianggap sebagai ”mahluk terikat pada lingkungan”

Berbeda dengan binatang, struktur morfologi manusia justru belum disesuaikan secara pasti dengan lingkungan tertentu. Tak ada lingkungan dan habitat yang spesifik baginya. Lingkungan dan habitat itu mutlak dicari dan dibangun. Karenanya, tegas Arnold Gehlen, antropolog cum filsuf dari Jerman, manusia ialah ”mahluk bebas lingkungan”.

Bagi manusia, ungkap Ignas Kleden (1993), alam bukanlah suatu yang terberikan (bukan suatu gabe), melainkan berupa tugas (suatu aufgabe). Jika ingin terus bertahan, manusia mutlak mengolah alam. Pasalnya, alamlah yang menyediakan pelbagai hal yang dibutuhkan manusia. Sampai di sini, sikap manusia dan binatang lagi–lagi serupa: agresif terhadap alam.

Evolusi kebutuhan dan kesadaran

Antropolog Bronislaw Malinowski membuktikan, banyak kebutuhan canggih dan kompleks manusia, sejatinya merupakan derivasi dari pelbagai kebutuhan dasar. Melalui Maliniwski pula, kita paham soal evolusi kebutuhan. Teori evolusi kebutuhan percaya bahwa kebutuhan manusia itu tidaklah jumud. Ia niscaya bekembang, dari bentuknya yang sederhana hingga bentuknya yang kian kompleks.

Dahulu, manusia manusia sekedar memenuhi kebutuhan subsisten;kebutuhan minimal untuk mampu bertahan hidup. Seirama dengan kemajuan peradaban, manusia beranjak dari orientasi kebutuhan subsisten. Daftar kebutuhan manusia yang mutlak dipenuhinya kian memanjang. Guna memuaskan daftar panjang kebutuhannya itu, lagi–lagi manusia bergantung kepada alam.

Alamlah yang mampu memenuhi pelbagai kebutuhan itu. Tetapi, tak sekedar bergantung pada alam, manusia malah mengeksploitasi alam. Berbeda dengan binatang yang yang puas begitu kebutuhan dasarnya tuntas terpenuhi, manusia tak akan terpuaskan hanya dengan pemenuhan kebutuhan dasar belaka.

Ditenggarai, evolusi kebutuhan manusia berkembang melesat lebih cepat ketimbang kesadaran manusia tentang keterbatasan alam. Lebih lanjut, pengetahuan manusia dalam mengeksploitasi alam juga lebih dahulu berkembang daripada pengetahuan tentang pemeliharaan dan perlindungan alam. Kiranya masuk akal jika ada yang menuding bahwa kecenderungan untuk mengeksploitasi alam jauh lebih berakar dalam jantung peradaban manusia ketimbang kecenderungan untuk memelihara dan melindungi alam.

Yang menarik ialah hal apa saja yang sebenarnya melempangkan bagi mengarusnya kecenderungan tersebut. Selanjutnya, diperlukan pula sebuah identifikasi dan pemetaan pelbagai hal yang membentuk dan mempengaruhi struktur nalar dan kesadaran manusia dalam memaknai dan memperlakukan alam. Kelak, disanalah penjelasan tentang proses mengarusnya kecenderungan manusia untuk mengeksploitasi alam, dapat ditemukan.

Beberapa pihak meyakini bahwa pandangan antroposentrisme ialah sebab terpenting dari perilaku eksploitatif manusia. Sebagai sebuah pandangan dunia, antroposentrisme memang terlampau bias kepentingan manusia. Ia meyakini bahwa manusia ialah satu – satunya mahluk yang superior dan berkuasa atas bumi beserta isinya.

Tetumbuhan, binatang dan bumi menjadi tak berharga dan semata dipahami sebagai sumber daya yang bebas dieksploitasi. Tetapi menuding antroposentrisme sebagai sebab tunggal eksploitasi atas bumi, bukanlah pekerjaan bijak dan arif. Selain terlampau naif, kita tidak hendak, dan juga tak mau,terpelanting kedalam kubangan reduksionisme dan determinisme. Tentu terdapat faktor lain yang berkelidan erat dalam mempengaruhi dan membentuk kesadaran manusia dalam memaknai dan memperlakukan alam. Bisa jadi, faktor itu ialah paradigma antroposentrisme, negara, kapitalisme, patriaki, pendidikan, ilmu pengetahuan modern, mitos bahkan agama.

Antroposentrisme yang merusak justru ditasbihkan kesucian epistemologinya oleh ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan modern, rujuk Vandana Shiva, ialah kabar buruk dari ideologi patriarkal barat. Shiva, aktivis ekofeminis India paling cenerlang, mengkritik semangat ilmu pengetahuan barat sebagai reduksionisme yang memangkas habis bumi, pengetahuan non barat, dan juga perempuan.

Salah seorang pemikir yang mesti bertanggung jawab, tegas Shiva, ialah Rene Descartes. Descartes, via doktrin cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada), membagi dua kutub secara diametral: manusia sebagai res cogitans (subjek yang berfikir), dan alam sebagai res extensa (subjek yang dipikirkan). Naga – naganya, doktrin Cartesian mentasbihkan perceraian filosofis manusia dengan alam.

Demikianlah, manusia tak hanya mengatasi alam, melainkan juga terpisah dari alam. Manusia tidak dilihat sebagai “a part for nature,” menurut Dr. J. Sudarminta, SJ.,staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

No comments: