Sunday, December 2, 2007

Saatnya Menyelamatkan Bumi!

Ibarat kapsul yang mengelilingi jagat raya, bumi kian sesak. Padahal, volumenya sama sekali tak bertambah. Belum lagi kondisi komponen-komponennya yang telah aus, usang, dan rusak disana-sini. Jika dibiarkan, bumi terancam beroperasi. Berhenti bergerak, ambruk. Kiamat. Barangkali.

Ambruknya kualitas bumi tersebut ditenggarai sebagai ulah manusia, yang dinilai terlampau asyik memuaskan syahwatnya tanpa mempedulikan akibatnya pada bumi. Mental dan nalar manusia yang merasa superior, berkuasa atas alam adalah sebagai muasalnya.

Alam, berikut segala isinya, dijadikan obyek yang inferior dihadapan manusia yang superior. Disinilah, ihwal remuknya kualitas bumi mulai mengarus deras. Atas nama kesejahteran manusia, bumi bisa diekploitasi sekehendak hati.

Mental seperti inilah yang membuat manusia yakin, bumi berikut energi yang dikandungnya tak akan pernah susut. Jika pun ada kerusakan, toh alam akan mampu dengan sendirinya menyesuaikan serta memperbaiki diri.

Bencana alam, bukan menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, ataupun menyadarkan manusia. Dan dianggap sebagai ritus alamiah yang rumlah terjadi.

Kiranya, masuk akal jika ada yang menuding bahwa kecenderungan untuk mengeksploitasi alam jauh lebih berakar dalam jantung peradaban manusia ketimbang kecenderungan untuk memelihara dan melindungi alam.

Ragam bencana yang melanda bangsa ini seperti, munculnya awan panas Gunung Merapi yang berkelanjutan, gempa bumi yang melanda Jogja dan Jateng, semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, serta yang paling baru terjadi yaitu naiknya air laut ke daratan di sebagian Jakarta dan daerah pantai utara Jawa. Bencana alam tersebut seperti sambung-menyambung menjadi satu, seakan tidak ada habisnya.

Dampak dari bencana ini cukuplah dasyat. Bagaimana tidak, dana taktis departemen sosial untuk penanggulangan bencana hingga ludes. Bencana alam yang banyak terjadi akhir-akhir ini sebenarnya menjadi tanda-tanda ketidaksanggupan alam menanggung beban ekploitasi yang dilakukan manusia.

Sudah seharusnya manusia tersadarkan, bahwa kualitas bumi sudah memprihatinkan. Untuk memperbaikinya tidak ada kata lain selain penyelamatan bumi. Inilah saat yang tepat untuk startingpoint (titik awal) proyek penyelamatan bumi.

Sebagai ikhtiar pembuka, mulailah dengan merenungkan kembali perilaku dan pola hidup boros, konsumtif dan tidak arif. Renungkan beberapa perilaku kita yang bagi generasi mendatang akan tampak sebagai sesuatu yang konyol dan merusak. Selanjutnya, pelan-pelan dan setahap demi setahap, kurangi konsumsi atas bahan bakar. Entah itu bensin, minyak tanah, gas maupun solar.

Biasakanlah berjalan kaki. Untuk pergi keluar kota, tentu saja, kita masih bisa menaiki kendaraan. Tetapi, membeli rokok ke warung yang jaraknya Cuma lima puluh meter dengan naik kendaraan bermotor, bukanlah tindakan yang bijak. Jika kita telah melakukan ikhtiar sederhana itu, mulailah mengajak dan mendidik lingkungan kita, untuk mengikuti jejak sederhana tadi.

Lupakan saja polemik soal etika lingkungan atau program audit lingkungan yang dilakukan pemerintah atau pertemuan-pertemuan internasional. Yang terpenting, kita telah memulai dan melampaui banyak orang dalam soal aksi konkrit penyelamatan bumi. Dengan mengurangi konsumsi bahan bakar, mengurangi merokok, memelihara tanaman di halaman rumah, dengan…… apa saja.

Bukankah sebuah revolusi raksasa sekalipun, harus dimulai dari hal-ihwal yang sepele nan sederhana. Pun ikhtiar raksasa penyelamatan bumi. Sehingga dengan ikhtiar yang sederhana itu, ragam bencana alam tidak terjadi lagi dibumi Indonesia dan belahan dunia lainnya serta pemanasan global tidak lagi menjadi selimut tebal bagi bumi.

No comments: